Kamis, 15 Mei 2014

Pengalaman: Mengajar Kejar Paket A di Usia Muda


Artikel ini saya masukkan ke Blog saya dengan alasan :

1. saat ini saya sedang tertarik dengan topik pemberantasan Buta Huruf yang juga menjadi topic dalam pembuatan skripsi saya.

2. tulisan dari Blogg ini bisa menjadi contoh bagus bagi orang muda, yang relative sangat muda, untuk berbagi, berbuat dan bertindak!

..good Luck, Go Pede..!
=======================


http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/06/pengalaman-pertama-mengajar-kejar-paket-a-534611.html

Pengalaman mengajarku pertama kali, dimulai saat aku sekitar kelas 1-2 SMP. Ini adalah pengalaman mengajar yang paling berbeda dan tidak bisa kulupakan, karena aku diminta mengajar di Kejar Paket A yang saat itu diadakan untuk membantu orang-orang yang buta huruf. Beda dengan sekarang, di mana program seperti ini banyak dihadiri oleh peserta yang memang masih dalam usia sekolah, saat itu peserta adalah ibu-ibu yang usianya terpaut lebih dari 15 tahun di atasku.

Pada sekitar tahun 1980-1990an, pemerintah saat itu mengadakan satu program yang disebut Kejar Paket A untuk memberantas buta huruf di Indonesia. Pelaksanaannya diserahkan kepada setiap daerah di tingkat kelurahan. Dan saat itu, karena kebetulan rumah orang tua mempunyai beranda depan yang cukup luas, mereka minta ijin untuk mengadakan menyelenggarakan Kejar Paket A di rumah yang diadakan sekitar 1-2 kali dalam seminggu. Untuk kelancaran, orang tuaku menyediakan meja , kursi dan papan tulis. Pesertanya kebanyakan adalah warga sekitar yang tidak dapat membaca dan menulis sama sekali, dan kebanyakan adalah ibu-ibu yang pada saat masa mudanya tidak mendapat kesempatan untuk belajar. Gurunya adalah seorang guru di sebuah sekolah, yang bersedia melakukan pengajaran dengan sukarela, karena memang beliau tidak diberikan gaji tambahan untuk ini, tapi hanya sedikit honor sebagai ucapan terima kasih.

Hingga terjadi pada suatu saat, guru tersebut berhalangan untuk mengajar selama beberapa bulan dan harus mencari pengganti sementara. Entah karena sulit mencari pengganti atau alasan yang lain, saat guru itu berbincang dengan Ibuku dan aku ada di sana, beliau bertanya kepadaku, “Mau menggantikan saya mengajar Kejar Paket A ?” Eeee ??? Aku kaget, tapi juga senang, dan langsung aku jawab, “Iya… Mau.” Saat itu aku masih sekitar kelas 1-2 SMP, tapi aku merasa senang mendapat kesempatan mengajar, karena memang aku senang mengajar. Jadilah, di pertemuan berikutnya, aku sebagai guru untuk semua ibu-ibu di Kejar Paket A. Karena itu adalah program belajar non-formal, maka tidak ada silabus ataupun rencana pengajaran seperti di sekolah formal. Buku panduan tentang materi yang diajarkan dari pemerintah memang ada, dan aku menggunakan itu untuk meneruskan pelajaran di Kejar Paket A. Aku masih ingat sekali, bagaimana aku tidak hanya bergantung pada buku panduan, tapi juga mulai mengaktifkan semua yang belajar di sana. Entah ide darimana, saat aku meminta peserta maju satu-persatu dan menulis di depan papan tulis kata-kata yang sudah diajarkan. Biasanya, akan a, ada kesalahan saat mereka menuliskan huruf-huruf yang paling sederhana sekalipun, seperti misalnya menulis huruf “a” terbalik, dan aku mencoba membetulkan. Ada juga satu hal yang masih aku ingat, pada saat aku meminjamkan koleksi buku bacaanku saat aku SD kepada peserta Kejar Paket A untuk dicoba baca di rumah dan dikembalikan di pertemuan berikutnya. Sekarang, kadang aku merasa heran, saat ingat bahwa semua peserta mengikuti pelajaran dengan baik dan melakukan semua latihan yang aku berikan, walau mereka tahu bahwa yang di depannya adalah anak berusia 13-14 tahun. Dari dalam rumah, awalnya Ibuku sering memperhatikan saat aku sedang mengajar, mungkin karena ingin meyakinkan bahwa semua berjalan baik-baik saja. Sayang sekali, foto yang diambil saat itu, sekarang entah ada di mana.

Mengajar ibu-ibu di program Kejar Paket A seperti itu, ternyata tanpa sadar telah membuatku belajar memahami orang lain. Peserta belajar dengan usia yang jauh lebih tua, tidak pernah duduk di bangku sekolah, kemampuan yang tidak secepat anak-anak usia 6-7 tahun saat mereka pertama kali mengenal huruf, waktu belajar yang terbatas karena kebanyakan dari mereka sudah berkeluarga dan mempunyai anak, bahkan tidak sedikit yang harus bekerja untuk menunjang ekonomi keluarga. Saat itu, aku harus belajar memahami keterbatasan beliau-beliau ini, dan belajar bersabar saat sebuah materi yang tampaknya mudah dan bisa dipelajari dengan mudah oleh anak SD, menjadi sangat sulit bagi mereka. Tapi aku masih ingat, betapa aku menikmati saat itu, merasa senang saat melihat kemajuan mereka dalam belajar, merasa lega saat mereka berkomentar senang aku menjadi guru mereka, dan sangat berterima kasih kepada mereka yang telah berbesar hati memberi ruang kesempatan untukku dalam berbagi ilmu aku punya walau umurku jauh di bawah mereka semua, juga berterima kasih atas pengalaman yang sangat berharga yang telah membuatku belajar mengerti dan memahami orang lain.

Pernah akhir-akhir ini ada yang bertanya kepadaku, kalau aku diminta untuk mengajar seperti itu lagi, apakah aku mau ? Dan jawabanku adalah, “Kenapa tidak ?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar