Kamis, 15 Mei 2014

2014, dan Buta Huruf masih menjadi Persoalan..




http://ruangkata82.blogspot.com/

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Jurnal Nasional (Jurnas), Sabtu 13 September 2008
Menurut data BPS (2007), dari total penduduk sebanyak 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8 persen dan perempuan 12,3 persen, dengan penyebaran di perkotaan 4,9 persen, dan perdesaan 12,2 persen. Dari jumlah itu, Pulau Jawa merupakan penyumbang terbesar dengan perincian Jawa Timur di peringkat pertama (10,47%), Jawa Tengah (9,42%) dan Jawa Barat.
Buta huruf merupakan keadaan di mana orang tidak mampu membaca dan menulis. Padahal, kedua hal tersebut merupakan jendela untuk melihat dunia. Artinya, jika orang bisa membaca, maka dia melihat dunia baru dan segala perkembangannya, termasuk iptek. Lebih dari itu, orang yang mampu membaca akan mengembangkan kompetensinya, karena wawasannya bertambah, entah lewat akses internet, membaca koran atau majalah.
Sebaliknya, orang yang buta huruf, akan melihat dunia dengan sempit, karena informasi yang diterimanya sangat sedikit. Akibat informasi yang kurang, orang menjadi bodoh dan miskin. Maka, wajar jika tingginya angka buta huruf di Indonesia, berbanding lurus dengan tingginya angka kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Itu dapat dilihat dari data BPS (2008) yang menyebutkan bahwa penduduk miskin mencapai mencapai 41,1 juta jiwa, atau naik sekitar 4,7 juta jiwa dibanding tahun 2007, yang hanya 37,2 juta jiwa.
Sementara, menurut data laporan UNDP (2008), posisi Human Development Index (HDI) atau index pembangunan manusia Indonesia, berada di ranking 108 dari 177 negara. Posisi itu lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (61), Thailand (74), dan Filipina (84). Sementara, kemampuan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia pada urutan ke-46 dari 47 negara yang disurvei.
Tambal Sulam
Pemerintah, sebenarnya tidak tinggal diam menyikapi persoalan buta huruf. Sejak tahun 1945 melalui bagian pendidikan masyarakat, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, pemerintah melakukan gerakan melek huruf, yang dikenal dengan nama Pemberantasan Buta Huruf (PBH) atau Kursus ABC.
Selanjutnya, pada tahun 1951 pemerintah menyusun rencana Sepuluh Tahun PBH, dengan harapan buta huruf akan selesai dalam jangka waktu 10 tahun. Sayangnya, hingga akhir 1960 masih terdapat sekitar 40 persen orang dewasa yang buta huruf. Keadaan itu membuat gerah Presiden Sukarno, dan pada tahun itu juga presiden mengeluarkan komando untuk menuntaskan buta huruf sampai 1964. Dengan komando itu, diharapkan pada akhir 1964 penduduk Indonesia usia 13-45 tahun telah bebas buta huruf, kecuali di Irian Barat (sekarang Papua). Karena tidak ada program tindak lanjut, langkanya bahan bacaan, dan semakin banyaknya anak usia SD (6-12 tahun) yang tidak sekolah, persoalan buta aksara muncul kembali.
Pada tahun 1966, digulirkan kembali PBH fungsional. PBH saat itu dibagi dalam tiga tahapan: PBH permulaan, PBH lanjutan I, dan PBH lanjutan II. Bahan belajar PBH permulaan menggunakan buku kecil "Petani Belajar Membaca" yang diselesaikan antara 20-30 hari. Selanjutnya, mulai 1970-an dirintis program kejar Paket A, yaitu program PBH dengan menggunakan bahan belajar Paket A yang terdiri atas Paket A1 sampai A100. Hingga tahun 1995, program PBH masih terus dilakukan di sembilan provinsi dengan memperbaiki sistem pelatihan, metodologi pembelajaran, dan sistem penyelenggaraannya.
Musuh Bersama
Pertanyaannya kemudian, mengapa program PBH tidak bisa efektif menekan jumlah pengidap buta huruf? Jika kita cermati dengan seksama, ketidakberhasilan program PBH itu, disebabkan beberapa hal. Pertama, tahap-tahap program yang dilakukan tidak pernah tuntas atau serta sekadar tambal sulam. Itu dapat dilihat dari budaya ganti rezim, ganti pula programnya, sehingga menimbulkan diskontiunitas. Kedua, masing-masing komponen tidak bekerja secara sinergis dan dengan visi yang sama. Akibatnya, program tidak bisa berjalan efektif, karena tidak jelas ujung pangkalnya.
Tampaknya, strategi PBH yang selama ini dilakukan harus diperbaiki. Di samping harus paralel dengan pemberdayaan masyarakat, PBH harus dilaksanakan secara sinergis dengan upaya mendorong kesadaran membangun sektor produktif, misalnya melalui gerakan pembangunan sektor riil. Selain itu, pihak-pihak atau komponen yang dilibatkan harus melepas tujuan individu atau kelompok, dan selanjutnya menjadikan buta aksara sebagai musuh bersama yang harus diperangi seluruh bangsa.
Strategi itu, memiliki kesesuaian dengan langkah Presiden SBY, khususnya dalam Inpres No 5 Tahun 2006. Inpres ini di antaranya berisi pernyataan bahwa pemberantasan buta aksara dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan, mulai dari presiden, menteri terkait, gubernur, wali kota/bupati, camat, sampai kepala desa. Sedangkan pendekatan horizontal dilakukan dengan melibatkan berbagai ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.
Upaya jitu yang tertuang dalam impres itu, harus didukung semua pihak. Perusahaan-perusahaan besar, harus menyisihkan sebagian penghasilannya untuk kegiatan corporate social responsibility (CSR). Anggaran yang terkumpul, bisa digunakan untuk kegiatan pelatihan, perekrutan relawan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka inilah yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan program PBH.
Selanjutnya, masing-masing komponen harus selalu berkomunikasi secara transparan dan akuntabel, sampai sejauh mana program telah dilaksanakan. Dengan sistem itu, efektivitas program PBH bisa dicermati dan terus dipantau perkembangannya. Pada akhirnya, bangsa ini harus bersatu-padu melawan buta aksara sebagai musuh bersama, agar memiliki kembali kredibilitas dan nilai tawar dalam hubungan internasional.[] Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar