Kamis, 15 Mei 2014

Cerita yang di akhir kisahnya membuat ku - penulis, tertawa !




sungguh beruntung, setelah 25 tahun berpisah dengan buku yang sangat berjasa ini, aku bisa menemukannya kembali. Aku mencarinya di loakan Malang, Solo, Jogja, dan Semarang. Kejar Paket A, ‘Sahabat’ dan ‘Guru’ku yang Pertama!


http://nassirunpurwokartun.wordpress.com/2012/03/26/catatan-kaki-11-modul-kejar-paket-a-awal-mula-jatuh-cinta/

Paket A, sungguh besar jasanya.

Bukan hanya bagi mereka, orang-orang tua yang waktu itu sedang ikut program Pemberantasan Buta Huruf saja. Tapi terutama bagiku, anak TK yang sedang giat-giatnya belajar membaca.

Sejak bisa membaca, apa saja yang berbentuk tulisan selalu aku baca.

Dari tulisan yang ada pada bungkus mie instan, kopi bubuk, teh, garam dapur, kecap, kertas sigaret, korek api, rokok, tas belanjaan, papan nama jalan, papan nama pejabat kelurahan, spanduk pinggir jalan, iklan di warung-warung, hingga kaos yang sedang dipakai orang.

Kehidupan kami yang sangat tidak berada, tidak memungkinkan adanya buku bacaan, apalagi majalah anak di rumah. Buku bacaan adalah barang mewah bagi kehidupan kami. Tak ada buku tersedia di rumah-rumah, selain buku tulis atau buku gambar keperluan sekolah. Kalaupun ada buku bacaan, itu adalah buku pelajaran paket pinjaman dari sekolah. Kehidupan kami di kampong seakan terbebas dari benda yang bernama buku bacaan.

Begitupun denganku. Yang tersedia di rumahku, hanyalah buku-buku modul KEJAR (kelompok belajar) Paket A milik ayahku.

Ayah waktu kecil hanya sempat sekolah sampai kelas 2 SD saja. Sejak kecil harus menggembala kerbau, dan membantu kakek bekerja di sawah. Ayah adalah anak pertama, dengan kehidupan keluarga yang juga tidak berada. Jadi secara tidak langsung, harus ikut memikul tanggungjawab mencari nafkah untuk makan adik-adiknya yang berjumlah tujuh orang.

Karena harus membantu kakek bekerja membajak sawah-sawah orang, ayah pun sering tidak masuk sekolah. Itu tentu membuat selalu ketinggalan pelajaran. Menjadikan tiap tahun tak bisa naik kelas. Karena itulah, setelah 2 kali tinggal kelas, ayah pun tidak naik ke kelas 3. Daripada malu diolok-olok temannya, lebih baik keluar sekolah. Dan tidak lulus Sekolah Dasar. Ayah pun buta huruf.

Pada awal tahun 1980an, pemerintah mengadakan program Pemberantasan Buta Huruf. Orang-orang desa yang belum bisa membaca, dikumpulkan tiap hari Minggu pagi untuk belajar kembali. Belajar pelajaran yang mirip dengan pelajaran kelas 1 Sekolah Dasar. Pemerintah merencanakan agar Indonesia benar-benar melek huruf. Minimal semua masyarakat bisa membaca, menulis, dan berhitung. Ayah pun terdaftar untuk ikut sekolah yang pembelajarannya dilakukan di Balai Desa.

Banyak kejadian lucu dalam proses belajar-mengajar para orang tua. Hanya sekadar mengenalkan huruf pun, seolah-olah otak mereka sudah kendor. Usia tua dan daya ingat yang lemah mengakibatkan sulitnya proses pembelajaran. Yang minggu kemarin sudah hafal, minggu ini hilang lagi. Begitu seterusnya. Termasuk ayah. Huruf-huruf yang ketika belajar di rumah sudah hafal, di Balai Desa menjadi hilang. Atau ketika di Balai Desa bisa, sampai rumah tak lagi ingat. Begitu selalu.

Maka untuk membantu pengajaran, dibagikanlah buku-buku modul untuk dibawa pulang. Untuk latihan membaca di rumah. Boleh berlatih sendiri, atau bersama-sama dengan tetangga lainnya. Boleh diajari suami atau istrinya, atau diajari anaknya yang sudah bisa membaca. Ayah pun tiap Minggu pagi selalu pulang dengan membawa modul-modul itu.

Namun ayah yang sudah merasa patah arang sejak pertama didaftar oleh Pak RT, hanya mendiamkan saja buku-buku itu. Bagi ayah, bisa membaca atau tidak, tidak akan mengubah nasibnya. Kalau pun bisa membaca, menurutnya hal itu tidak akan membuatnya kenyang. Tidak akan mengubahnya menjadi perangkat desa, misalnya. Jadi daripada susah-susah belajar membaca yang selalu membuatnya pusing kepala, lebih baik waktunya digunakan untuk menyelesaikan kerja di sawah. Mencangkul, membajak, menanam padi, menyiangi, atau mengairi. Yakin itu pasti membuat kenyang seluruh keluarga.

Dengan alasan demikian, ibu yang berniat mengajari ayah di rumahpun jadi tak lagi bisa memaksa. Maka buku-buku modul itu hanya ditumpuk di laci bawah meja.

Akulah yang kemudian memanfaatkannya.

Awalnya hanya dilihat-lihat gambarnya. Gambar-gambarnya menarik, dengan goresan tangan yang kuat dan sederhana namun sangat memikat. Setelah puas melihat-lihat gambarnya, kemudian minta ibu untuk mengajari membaca. Akhirnya setiap ayah berangkat ke Balai Desa, aku pesan untuk dibawakan modul yang banyak. Dan ayah pun memenuhi. Mungkin gurunya pun merasa bangga, ketika ada muridnya yang meminta modul lebih banyak. Dikiranya memang benar untuk belajar di rumah.

Dan karena sukanya membaca, telah kubaca habis modul-modul itu sampai jilid A15 waktu aku kelas 1 SD.

Jadi harus kuakui sekarang, bahwa buku-buku modul yang berisi tentang pertanian dan peternakan itulah yang ternyata sangat berjasa melancarkan kemampuan bacaku. Buku terbitan Departemen P dan K tahun 1982 yang bersampul hijau dan biru itu betul-betul menjadi teman belajarku.

Isi buku-buku itu kebanyakan mengajarkan teknik peternakan dan pertanian. Seperti memelihara ayam, kambing, domba, ikan mas, mujahir, gurame, dan bermacam hewan ternak. Cara bercocok tanam, seperti pepaya, pisang, jeruk, tomat, bayam, kacang panjang, cabai, dan berbagai sayur dan buah-buahan lainya. Intinya bermacam hal yang berhubungan dengan kehidupan desa. Tetapi dari cerita-cerita itu dihubungkan dengan materi baca-tulis-hitung sebagai tujuan utama Program Bebas Tiga Buta.

Sebagai anak kecil yang juga gemar menggambar, aku suka sekali dengan buku itu karena ilustrasi sampul dan isinya juga bagus-bagus. Aku yang sedang senang-senangnya belajar menggambar, suka sekali mencontohnya. Gambar kambing, sapi, ayam, bebek, beragam jenis ikan, tumbuh-tumbuhan, dan orang-orang yang digambar dengan bentuk lucu membuatku tertarik meniru.

Yang lebih mengasyikkan, di sampul dalam bagian belakang selalu ada teks nyanyian lagu-lagu kebangsaan. Macam ‘Desaku yang Kucinta’, ‘Dari Sabang sampai Merauke’, ‘Halo-halo Bandung’, ‘Hari Merdeka’, dan banyak lainnya. Jadi selain belajar lancar membaca, buku itu juga mengajariku pintar menggambar sekaligus mahir menyanyi.

Maka bisa dikatakan, dari modul-modul itulah aku menjadi benar-benar bebas buta huruf. Aku yang baru kelas 1 SD sudah sangat lancar membaca, menulis, dan berhitung. Ditambah juga pintar menggambar dan bernyanyi.

Sementara ayah, karena kerja di sawah dan ladang lebih mendesak untuk menghidupi keluarga, berhenti sebelum program Kejar Paket A itu selesai. Sampai kemudian desaku dinyatakan bebas buta huruf. Plang-plang bertuliskan “Anda Memasuki Wilayah Bebas Tiga Buta” dipasang di mana-mana. Di tiap perempatan dan pertigaan jalan yang masuk ke desaku.

Sejak itu, konon, Indonesia pun benar-benar bebas buta huruf. Kecuali ayahku.

oleh Nassirun Purwokartun pada 25 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar